Posted in

Lima Anggota DPR Dinonaktifkan Pasca Demonstrasi: Apa Artinya untuk Politik dan Tanggung Jawab Publik?

Demonstrasi besar di beberapa kota baru‑baru ini memicu reaksi keras dari partai politik. Gelombang protes yang menuntut keadilan dan respons politik menimbulkan konsekuensi serius: lima anggota DPR dinonaktifkan oleh partai mereka akibat pernyataan yang dinilai menyakiti perasaan rakyat. Namun, apa sebenarnya makna dari “nonaktif” dalam konteks ini, dan bagaimana implikasinya terhadap demokrasi dan akuntabilitas? Berikut uraian lengkapnya.


🔍 Siapa Saja yang Dinonaktifkan dan Kenapa

Berdasarkan laporan Antara News, keputusan penonaktifan diumumkan setelah rapat strategis antara Presiden Prabowo Subianto dan ketua umum partai politik bersama pimpinan lembaga negara di Istana Kepresidenan Jakarta, Minggu, 31 Agustus 2025. Antara News

Kelima anggota DPR yang dinonaktifkan adalah:

  1. Ahmad Sahroni (NasDem) — dinonaktifkan karena pernyataannya dianggap mencederai perasaan rakyat dan tidak sejalan dengan nilai partai. Antara News

  2. Nafa Urbach (NasDem) — Bendahara Fraksi NasDem, juga dinyatakan menyimpang dari aspirasi rakyat. Antara News

  3. Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) (PAN) — viral karena video berjoget di forum kenegaraan, dianggap tidak pantas. Antara News

  4. Surya Utama (Uya Kuya) (PAN) — turut dinonaktifkan bersama Eko Patrio. Antara News

  5. Adies Kadir (Golkar) — pernyataannya tentang kenaikan tunjangan DPR menuai kritik publik, walau kemudian Golkar menyatakan beberapa klarifikasi. Antara News+1

Penonaktifan berlaku sejak Senin, 1 September 2025. Antara News


⚖ Makna “Nonaktif” dalam Politik dan Hukum

Long‑tail keyword penting yang muncul adalah “status nonaktif anggota DPR dan hak tunjangan yang dicabut pasca demo pemeriksaan partai politik”. Berdasarkan laporan Detik.com, mereka yang dinonaktifkan otomatis kehilangan hak fasilitas dan tunjangan sebagai anggota DPR, meski secara keanggotaan mereka masih tercatat. detikcom

Secara hukum, istilah “nonaktif” tidak tercantum dalam Undang‑Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Dalam UU tersebut hanya mengatur pemberhentian antarwaktu (PAW), pemberhentian sementara, dan penggantian antarwaktu. Media Priangan – Makna, Fakta, Fenomena+1 Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menyebut bahwa anggota yang dinonaktifkan tetap secara formal sebagai anggota DPR sampai ada proses PAW resmi. Media Priangan – Makna, Fakta, Fenomena+1


🧩 Opini Ahli dan Aspek Etika

Dr. Titi Anggraini, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebut bahwa penonaktifan sebagai mekanisme internal partai merupakan bentuk moral sanksi, yang bisa dipahami dalam sistem etika politik. Namun, dia juga memperingatkan bahwa penonaktifan tidak boleh dijadikan alat politik sepihak tanpa transparansi, karena bisa menimbulkan preseden yang berbahaya bagi kehormatan legislatif dan kepercayaan publik. Hukumonline


📌 Dampak dan Tantangan

  1. Tunjangan dan Fasilitas Dipangkas
    Anggota DPR yang dinonaktifkan tidak lagi menerima fasilitas dan tunjangan. Ini menjadi bagian penting karena tunjangan menjadi bahan kritik publik selama ini. detikcom+1

  2. Isu Kepercayaan Publik
    Demonstrasi besar di mana rakyat merasa suara mereka tidak didengar membuat tekanan terhadap wakil rakyat meningkat. Penonaktifan dianggap sebagai upaya partai mempertahankan citra dan meredam kemarahan publik.

  3. Kekaburan Hukum
    Karena UU tidak mengatur istilah “nonaktif”, status ini masih menimbulkan ketidakjelasan: apakah hak kepartaian, suara di DPR, dan hak memilih tetap berlaku, dan sampai kapan nonaktif tersebut berlangsung jika tidak diteruskan ke proses resmi seperti PAW.


🔮 Harapan Publik dan Kebutuhan Transparansi

Publik mengharapkan:

  • Partai politik dan DPR memberikan dasar yang jelas untuk setiap keputusan penonaktifan: apa pernyataan atau tindakan yang dianggap pelanggaran, bukti yang mendukung, dan berapa lama status nonaktif berlaku.

  • Mekanisme PAW (Pergantian Antar Waktu) dipahami dan dijalankan jika nonaktif menjadi permanen atau dianggap tidak sesuai.

  • Pengawasan oleh lembaga seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan pengawasan independen agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan parpol terhadap kadernya.


🔚 Kesimpulan

Penonaktifan lima anggota DPR pasca demo adalah langkah luar biasa dalam politik Indonesia: sebuah sinyal bahwa partai merespons kritik publik. Tapi di saat yang sama, langkah tersebut menunjukkan bahwa istilah “nonaktif” masih berada dalam ruang abu‑abu hukum. Status, hak, dan kewajiban harus dijelaskan agar tidak menjelma menjadi tindakan politis yang mengabaikan prinsip keadilan. Rakyat pantas menuntut agar wakilnya — siapa pun dia — tetap diperlakukan transparan dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *