Demo Tolak RUU Pilkada di Gedung DPR RI: Ancaman terhadap Supremasi Hukum?
Pada Kamis, 22 Agustus 2024, aksi demonstrasi besar-besaran mengguncang Gedung DPR RI. Aksi yang bertajuk “Peringatan Darurat” ini diikuti oleh massa gabungan dari elemen buruh, mahasiswa, dan sejumlah figur publik ternama. Nama-nama seperti Abdel Achrian (“Cing Abdel”), YouTuber Jovial Da Lopez, komika Arie Kriting, Bintang Emon, Yuda Keling, Rigen, dan Ebel Kobra turut serta dalam demonstrasi ini. Mereka menuntut DPR untuk mematuhi Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 terkait Pilkada 2024. Demo ini menjadi sorotan publik dan memunculkan pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap citra negara hukum di Indonesia.
Latar Belakang Demo dan Perselisihan Hukum
Demo ini dilatarbelakangi oleh pertikaian penafsiran hukum mengenai revisi UU Pilkada. DPR dianggap inkonstitusional karena dinilai mengabaikan dua putusan MK yang krusial:
* **Putusan MK Nomor 70/PUU-XXXII/2024:** Putusan ini terkait syarat usia calon kepala daerah, yang diajukan oleh Anthony Lee dan Fahrur Rozi. MK menegaskan bahwa syarat usia minimum harus dipenuhi saat proses pencalonan, bukan saat pelantikan seperti yang diputuskan Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Nomor 24 P/HUM/2024. Perbedaan penafsiran ini menimbulkan kekacauan hukum dan menjadi salah satu pemicu utama demonstrasi.
* **Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024:** Putusan ini, yang diajukan Partai Buruh dan Gelora, mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah. MK menurunkan persentase suara atau kursi yang dibutuhkan partai politik untuk mengusung calon gubernur, dengan besaran yang disesuaikan dengan jumlah penduduk suatu provinsi. Detailnya sebagai berikut:
* Provinsi dengan penduduk sampai 2 juta jiwa: minimal 10% suara.
* Provinsi dengan penduduk 2-6 juta jiwa: minimal 8,5% suara.
* Provinsi dengan penduduk 6-12 juta jiwa: minimal 7,5% suara.
* Provinsi dengan penduduk lebih dari 12 juta jiwa: minimal 6,5% suara.
DPR dinilai berusaha merevisi UU Pilkada untuk membatalkan putusan MK ini, dengan mengembalikan ambang batas pencalonan ke angka semula (20% kursi DPRD atau 25% suara), sebuah tindakan yang dianggap menentang UUD 1945. Hal ini diperparah dengan upaya mengembalikan batas usia minimum calon kepala daerah yang dihitung sejak pelantikan, bertentangan dengan putusan MK.
Pengamanan Demo dan Dampak terhadap Citra Negara Hukum
Menyadari potensi anarkisme, kepolisian mengerahkan ribuan personel gabungan untuk mengamankan demonstrasi. Sebanyak 1.273 personel ditempatkan di Patung Kuda, dan 2.013 personel di Gedung DPR-MPR. Ketegangan tampak jelas, menunjukkan betapa seriusnya situasi politik saat itu.
Demo ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang supremasi hukum di Indonesia. Jika DPR, sebagai lembaga legislatif, terkesan mengabaikan putusan MK yang final dan mengikat, maka hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan. Hal ini juga dapat memicu ketidakstabilan politik dan sosial.
Esensi negara hukum adalah perlindungan HAM dan kesetaraan di mata hukum. Ketidakpatuhan terhadap putusan MK merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip dasar negara hukum, dan dapat mengarah pada anarki dan pelanggaran HAM. Cita-cita negara hukum yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, seperti keadilan sosial dan supremasi hukum, terancam jika lembaga negara tidak menghormati putusan pengadilan tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan kearifan dari semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini secara konstitusional dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia.
**(Kata kunci: demo di gedung dpr ri, demo tolak ruu pilkada, supremasi hukum, putusan mk, negara hukum)**